TEORI
BELAJAR
I.
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Belajar merupakan suatu proses usaha
sadar yang dilakukan oleh individu untuk suatu perubahan dari tidak tahu
menjadi tahu, dari tidak memiliki sikap menjadi bersikap benar, dari tidak
terampil menjadi terampil melakukan sesuatu. Seseorang dianggap telah belajar
sesuatu jika dia dapat menunjukan perubahan perilakunya. Belajar tidak hanya sekedar memetakan
pengetahuan atau informasi yang disampaikan. Namun bagaimana melibatkan
individu secara aktif membuat atau pun
merevisi hasil belajar yang diterimanya menjadi suatu pengalamaan yang
bermanfaat bagi pribadinya. Pembelajaran merupakan suatu sistem yang membantu
individu belajar dan berinteraksi dengan sumber belajar dan lingkungan.
Teori adalah seperangkat asas tentang
kejadian-kejadian yang didalamnnya memuat ide, konsep, prosedur dan prinsip
yang dapat dipelajari, dianalisis dan diuji kebenarannya. Teori belajar adalah suatu teori yang di
dalamnya terdapat tata cara pengaplikasian kegiatan belajar mengajar antara
guru dan siswa, perancangan metode pembelajaran yang akan dilaksanakan di kelas
maupun di luar kelas.
B. Rumusan
masalah
Dari latar belakang diatas maka diperoleh
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Sebutkan
macam-macam teori belajar ?
C. Tujuan
1. Mengetahui
dan memahami teori belajar yang bisa digunakan.
II. PEMBAHASAN
A. Macam-
macam Teori Belajar
Dalam sejarah perkembangan teori belajar,
setidaknya telah terjadi tiga kali pergantian paradigma. Pertama, paradigma
behavioristik yang menekankan proses belajar sebagai perubahan relatif permanen
pada perilaku yang dapat diamati dan timbul sebagai hasil pengalaman (Mazur
dalam Eggen dan Caushak, 1997). Dengan demikian, penekanan hanya pada perilaku
yang dapat dilihat, tanpa memprhatikan perubahan-perubahan atau proses-proses
internal apapun yang terlibat didalamnya. Yang termasuk dalam kelompok ini
adalah teori Classical Conditioning dari Ivan Pavlov, Connectionism
dari Thorndike, teori behaviorisme dari Waston, teori sistem dari
Clark Hull, teori Contiguity dari Edwin Guthrie, dan Operant
Conditioning dari B.F. Skinner.
Kedua, paradigma kognitif yang
berpendapat bahwa belajar tidak hanya ditunjukan oleh perubahan perilaku yang
dapat diamati, akan tetapi belajar adalah perubahan struktur mental internal
seseorang yang memberikan kapasitas padanya untuk menunjukan perubahan perilaku. Struktur mental ini
meliputi pengetahuan, keyakinan, keterampilan, harapan, dan mekanisme lainya.
Dengan demikian, fokus paradigma ini adalah pada potensi perilaku. Yang
termasuk dalam paradigma ini adalah teori Gestalt, teori puposif behaviorism
dari Edward Tolman, dan Field Theory
dari Kurt Lewin, Information-processing theory, teori Antribusi
dari Weiner, teori Cognitive Developmental dari Jaen
Piaget, teori Discovery Learning dari Jerome Bruner.
Ketiga, paradigma konstruktivis yang
memandang belajar sebagai proses konstruksi pengetahuan oleh individu
berdasarkan pengalaman. Teori-teori dalam paradigama ini diantaranya adalah
teori Individual Cognitive Constructivist dari Vygotsky, teori Cognitive
Developmental dari Jaen Piaget.
a.
Teori Belajar
Behavioristik
Behaviorisme dari kata behave yang
berarti berperilaku dan isme berarti aliran. Behavorisme merupakan pendekatan
dalam psikologi yang didasarkan atas proposisi (gagasan awal) bahwa perilaku
dapat dipelajari dan dijelaskan secara ilmiah. Dalam melakukan penelitian,
behavioris tidak mempelajari keadaan mental. Jadi, karakteristik esensial dari
pendekatan behaviorisme terhadap belajar adalah pemahaman terhadap
kejadian-kejadian di lingkungan untuk memprediksi perilaku seseorang, bukan
pikiran, perasaan, ataupun kejadian internal
lain dalam diri orang tersebut.
Seperti
telah disebutkan, paradigma behavioristik menekankan proses belajar sebagai
perubahan relatif permanen pada perilaku yang dapat diamati dan timbul sebagai
hasil pengalaman. Dengan demikian, perubahan perilaku yang disebabkan oleh
sakit, distres emosional, atau kematangan tidak dapat disebut sebagai belajar.
Fokus behaviorisme adalah respons terhadap berbagai tipe stimulus. (Mahmud,
2012)
Para tokoh yang memberikan pengaruh kuat pada
aliran ini adalah :
1.
Ivan Pavlov
Teori-teori klasik dipelapori oleh
seorang ahli sosiologi Rusia bernama Ivan Pavlo pada awal tahun 1900an dengan
teori Classical Conditioning. Prosedur Conditioning Pavlov
disebut klasik, karena merupakan penemuan bersejarah dalam bidang psikologi
(Rumini, 1993). Untuk menghasilkan teori ini Ivan Pavlov melakukan suatu
eksperimen secara sistimatis dan saintifik, dengan tujuan mengkaji bagaimana
pembelajaran berlaku pada suatu organisme.
Dalam teorinya Pavlov menyatakan bahwa
gerakan refleks itu dapat dipelajari dan dapat berubah dengan melakukan
latihan. Refleks dibagi menjadi dua bagian, yaitu refleks wajar (unconditioned
reflex) dan refleks bersyarat (conditioned reflex). Refleks wajar, refleks yang
terjadi dengan sendirinya saat diberikan rangsang, sedangkan refleks bersyarat
adalah refleks yang harus dipelajari. Menurut teori Classical Conditioning,
belajar adalah suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat
(conditions), dapat berupa latihan yang dilakukan secara terus menerus sehingga
menimbulkan reasksi (response). (Saputra, 2012)
Kelemahannya adalah menganggap bahwa
belajar adalah hanyalah terjadi secara otomatis dan lebih menonjolkan peranan
latihan-latihan, dimana keaktifan dan pribadi seseorang tidak dihiraukan.
2.
Edward L.
Thorndike
Teori Connectionsme ditemukan dan
dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949). Menurut Thorndike, seluruh
kegiatan belajar adalah didasarkan pada jaringan asosiasi atau hubungan (bonds)
yang dibentuk antara stimulus dan respon. Karena itu teori ini disebut juga S-R
Bond theory atau S-R Psycology of Learning. (Khodijah, 2011)
Selain itu, teori ini juga disebut trial
and error learning. Hal ini karena hubungan yang terbentuk antara
stimilus dan respon tersebut timbul terutama melalui trian and error, yaitu
suatu upaya mencoba berbagai respon untuk mencapai stimulus meski berkali-kali
mengalami kegagalan. Proses ini keudian oleh Thorndike juga disebut sebagai Connectionisme,
atau Learning By Selecting And Connecting. (Islamuddin, 2012)
Tiga hukum belajar mayor yang dikemukakan
oleh Thorndike adalah (a) law of
readiness, (b) law of exercise, dan (c) law of effect. (Khodijah, 2011)
a.
Law of readiness
Thorndike percaya bahwa kesiapan adalah
kondisi belajar yang penting, karena kepuasan atau frustasi bergantung pada
kondisi kesiapan individu. Kalau individu tidak siap, ia akan mengalami
kegagalan dalam belajar, dan kegagalan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan
ia menjadi frustasi.
b.
Law of exercise
Perilaku sebagai hasil belajar terbentuk
karena adanya hubungan antara stimulus dan respon. Hubungan tersebut diperkuat
atau diperlemah oleh tingkat intensitas dan durasi pengulangan hubungan atau
latihan. Setelah tahun 1930, Thorndike merevisi hukum ini. Latihan saja
tidaklah cukup, latihan hanyalah akan membawa hasil jika diikuti atau disertai
oleh hadiah(reward) atau hukuman ( punishment ).
c.
Law of effect
Jika sebuah respon menghasilkan efek yang
menyenangkan, hubungan antara stimulus dan respon akan semakin kuat.
Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dihasilkan respon, semakin lemah
pula hubungan stimulus dan respon tersebut, kemudian pada akhirnya respon
tersebut tidak dimunculkan lagi.
3.
J.B Waston
Pada tahun 1919, pakar psikologi
berkebangsaan AS, J.B. Watson dalam bukunya Psychology from the Standpoint
of a Behaviorist mengkritisi metode introspektif dalam pakar psikologi yaitu
metode yang hanya memusatkan perhatian pada perilaku yang ada atau berasal dari
nilai-nilai dalam diri pakar psikologi itu sendiri.
Menurut Watson (Hamzah Uno, 2006) belajar
adalah proses interaksi antara stimulus dan respon . Stimulus dan respon tersebut berbentuk
tingkah laku yang bisa diamati. dengan kata lain Watson mengabaikan berbagai
perubahan mental yang mungkin terjadi dalam belajar dan menganggapnya sebagai
faktor yang tidak perlu diketahui karena faktor-faktor tersebut tidak bisa
menjelaskan apakah proses belajar telah terjadi atau belum. (Lestari, 2013)
Kebanyakan dari karya-karya Watson adalah
komparatif yaitu membandingkan perilaku berbagai binatang. Karya-karyanya
sangat dipengaruhi karya Ivan Pavlov. Namun pendekatan Watson lebih menekankan
pada peran stimuli dalam menghasilkan respons karena pengkondisian,
mengasimilasikan sebagian besar atau seluruh fungsi dari refleks. Karena
itulah, Watson dijuluki sebagai pakar psikologi S - R (stimulus-response).
(Mahmud, 2012)
4.
Clark Hull
Dalam teorinya ia mengatakan bahwa suatu
kebutuhan harus ada pada diri seseorang yang sedang belajar, kebutuhan itu
dapat berupa motif, maksud, ambisi, atau aspirasi. Dalam hal ini efisiensi
belajar tergantung pada besarnya tingkat pengurangan dan kepuasan motif yang
menyebabkan timbulnya usaha belajar individu. Prinsip penguat (reinforcer)
menggunakan seluruh situasi yang memotivasi, mulai dari dorongan biologis yang
merupakan kebutuhan utama seseorang sampai pada hasil-hasil yang memberikan
ganjaran bagi seseorang. Jadi pada diri seseorang harus ada motif sebelum
belajar terjadi atau dilakukan. (Saputra, 2012)
5.
Edwin Guthrie
Guthrie mengemukakan bahwa belajar
merupakan kaitan asosiatif antara stimulus dan respon tertentu. Stimulus dan respon merupakan faktor kritis
dalam belajar. Oleh karena itu
diperlukan pemberian stimulus yang sering agar hubungan lebih langgeng. Suatu respon akan lebih kuat (dan bahkan
menjadi kebiasaan) apabila respon tersebut berhubungan dengan berbagai
stimulus.
Guthrie mengemukakan bahwa hukuman
memegang peranan penting dalam proses belajar. Menurutnya suatu hukuman yang
diberikan pada saat yang tepat akan mampu merubah kebiasaan seseorang. Contoh seorang anak perempuan yang setiap
kali pulang sekolah selalu mencampakkan baju dan topinya dilantai. Ibunya menyuruh agar baju dan topi dipakai
kembali oleh anaknya. Lalu kembali
keluar, dan masuk rumah kembali sambil mengantungkan baju dan topinya di tempat
gantungannya. Setelah beberapa kali
melakukan hal itu, respon menggantung topi dan baju menjadi terasosiasi dengan
stimulus memasuki rumah. (Lestari, 2013)
6.
B. F. Skinner
Skinner menyatakan bahwa belajar
merupakan “Tingkah laku sebagai hubungan antara perangsang (S) dan respon (R)”
yang terkenal dengan teorinya yaitu Operant Conditioning Theory. Ada dua
macam respon dalam kegiatan belajar Respondent Response Reflexive Respons,
bersifat spontan atau dilakukan secara reflek, diluar kemampuan seseorang.
Dalam situasi yang demikiasn seseorang cukup belajar dengan stimulus yang
diberikan dan ia akan memberikan respons yang sepadan dengan stimuli yang
datang. Operant Response (Instrumental Response), respon yang timbul dan
berkembangnya dikuti oleh perangsan-perangsang tertentu. Perangsang yang
demikian disebut dengan reinforcing stimuli atau reinforcer, karena perangsang
ini memperkuat respons yang telah dilakukan oleh organisme. Menurut Skinner,
pengkondisian Operant terdiri dari 2 konsep utama, yaitu : penguatan
(reinforcement), yang terbagi kedalam penguatan positif dan penguatan negative,
dan hukuman (punishment).
Menurut Santrock (2010) dalam Lestari
(2013) Inti dari teori ini adalah dimana konsekunsi prilaku akan menyebabkan
perubahan dalam probabilitas prilaku itu akan terjadi. Konsekuensi – imbalan
atau hukuman bersifat sementara pada perilaku organisme. Contoh seorang siswa akan mengemas bukunya
secara rapi jika dia tahu bahwa dia akan diberikan hadiah oleh gurunya.
b.
Teori Belajar
Kognitif
Pengertian belajar menurut teori kognitif
adalah perubahan persepsi dan pemahaman, yang tidak selalu berbentuk tingkah laku yang dapat
diamati dan dapat diukur. Asumsi teori ini adalah bahwa setiap orang telah
memiliki pengetahuan dan pengalaman yang telah tertata dalam bentuk struktur
kognitif yang dimilikinya. Proses belajar akan berjalan dengan baik jika materi
pelajaran atau informasi baru beradaptasi dengan struktur kognitif yang telah
dimiliki seseorang.
Dalam kegiatan pembelajaran, keterlibatan
siswa secara aktif amat dipentingkan. Untuk menarik minat dan meningkatkan
retensi belajar perlu mengkaitkan pengetahuan baru dengan struktur kognitif
yang telah dimiliki siswa. Materi pelajaran disusun dengan menggunakan pola
atau logika tertentu, dari sederhan ke kompleks. Perbedaan individual pada diri
siswa perlu diperhatikan, karena faktor ini sangat mempengaruhi keberhasilan
siswa.
Beberapa tokoh yang berpengaruh dalam
teori kognitif sebagai berikut :
1.
Teori Kognitif
Gestalt
Teori kognitif mulai berkembang dengan
lahirnya teori belajar Gestalt. Peletak dasar teori gestalt adalah Merx
Wertheimer (1880-1943) yang meneliti tentang pengamatan dan problem solving.
Sumbangannya diikuti oleh Kurt Koffka (1886-1941) yang menguraikan secara
terperinci tentang hukum-hukum pengamatan, kemudian Wolfgang Kohler (1887-1959)
yang meneliti tentang insight pada simpase (Suryabrata, 2012). Kaum gestaltis
berpendapat bahwa pengalaman itu berstuktur yang terbentuk dalam suatu
keseluruhan. Menurut pandangan Gestalt, semua kegiatan belajar menggunakan
pemahaman terhadap hubungan, terutama hubungan antara bagian dan keseluruhan.
Intinya, tingkat kejelasan dan keberartian dari apa yang diamati dalam situasi
belajar adalah lebih meningkatkan kemampuan belajar seseorang dari pada dengan
hukuman dan ganjaran. (Saro, 2012)
2.
Teori Cognitive-Field
dari Kurt Lewin
Kurt Lewin (1892-1947) mengembangkan
suatu teori belajar kognitive-field dengan menaruh perhatian kepada kepribadian
dan psikologi sosial. Lewin memandang masing-masing individu berada di dalam
suatu medan kekuatan yang bersifat psikologis. Medan dimana individu bereaksi
disebut life space. Life space mencakup perwujudan lingkungan di mana individu
bereaksi, misalnya : orang – orang yang dijumpainya, objek material yang ia
hadapi serta fungsi kejiwaan yang ia miliki. Jadi menurut Lewin, belajar
berlangsung sebagai akibat dari perubahan dalam struktur kognitif. Perubahan
sruktur kognitif itu adalah hasil dari dua macam kekuatan, satu dari stuktur
medan kognisi itu sendiri, yang lainya dari kebutuhan motivasi internal
individu. Lewin memberikan peranan lebih penting pada motivasi dari reward
(Suryabrata, 2012).
3.
Teori Pemrosesan
Informasi (Information-Processing-Theory)
Teori ini merupakan salah satu teori
kognitif tentang belajar yang pertama dan paling berpengaruh (Eggen dan
Kauchak,1997). Teori pemrosesan informasi adalah teori kognitif tentang belajar
yang menggambarkan pemrosesan, penyimpanan dan perolehan pengetahuan oleh
pikiran (Byrnes, 1996 ). Teori yang berakar pada lapangan Arificial Intelegence
( AI ) ini merupakan karya dari Alexandra Lauria (1902-1077) dalam Sukadji
(1998).
Menurut teori ini, belajar adalah
menyangkut tentang bagaimana informasi dari lingkungan dapat disimpan dalam
memori. Untuk menggambarkan proses tersebut digunakan permodelan. Model proses
penyimpanan informasi yang paling berpengaruh dalam hal ini adalah model yang
dikemukakan oleh Atkinson dan Siffrin pada tahun 1968. Model tersebut memiliki
tiga komponen mayor, yaitu: penyimpanan informasi ( information store ),
proses kognitif ( cognitive process ), dan metakognisi ( metakognition
) ( Eggen dan Kauchak, 1997 ).
4.
Teori Cognitive
Developmental dari Jaen Piaget
Dalam teorinya, Piaget memandang bahwa
proses berpikir sebagai aktivitas gradual dari fungsi intelektual dari konkret
menuju abstrak. Piaget adalah ahli psikolog developmentat karena penelitiannya
mengenai tahap-tahap perkembangan pribadi serta perubahan umur yang
mempengaruhi kemampuan belajar individu. Menurut Piaget, pertumbuhan kapasitas
mental memberikan kemampuan-kemapuan mental yang sebelumnya tidak ada.
Pertumbuhan intelektual adalah tidak kuantitatif, melainkan kualitatif. Pada
intinya, perkembangan kognitif bergantung kepada akomodasi. Kepada siswa harus
diberikan suatu area yang belum diketahui agar ia dapat belajar, karena ia tak
dapat belajar dari apa yang telah diketahuinya.
Jean Piaget adalah seorang ilmuwan
perilaku dari Swiss, ilmuwan yang sangat terkenal dalam penelitian mengenai
perkembangan berpikir khususnya proses berpikir pada anak. Menurut Piaget
setiap anak mengembangkan kemampuan berpikirnya menurut tahap yang teratur.
Pada satu tahap perkembangan tertentu akan muncul skema atau struktur tertentu
yang keberhasilannya pada setiap tahap amat bergantung pada tahap sebelumnya
Berdasarkan uraian diatas, Piaget
membagi tahapan perkembangan kemampuan kognitif anak menjadi empat tahap yang
didasarkan pada usia anak tesebut yaitu sebagai berikut : (1) Tahap Sensori
Motor (dari lahir sampai kurang lebih umur 2 tahun), (2) Tahap Pra-operasional
( kurang lebih umur 2 tahun hingga 7 tahun), (3) Tahap Operasi Konkrit (kurang
lebih 7 sampai 11 tahun), (4) Tahap Operasi Formal (kurang lebih umur 11 tahun
sampai 15 tahun) (Santrock, 2008).
5.
Teori Discovery
Learning dari Jerome Bruner
Yang menjadikan dasar ide J. Bruner ialah
pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan secara aktif di
dalam belajar di kelas. Untuk itu Bruner memakai cara dengan apa yang
disebutnya discovery learning, yaitu dimana murid mengorganisasi bahan
pelajaran yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir yang sesuai dengan tingkat
kemajuan anak tersebut. Bruner menyebutkan hendaknya guru harus memberikan
kesempatan kepada muridnya untuk menjadi seorang problem solver, seorang
scientist, historian atau ahli matematika. Biarkan murid kita menemukan arti
bagi diri mereka sendiri dan memungkinkan mereka mempelajari konsep-konsep di
dalam bahasa yang mereka mengerti.
6.
Teori Purposive
Behaviorism dari Edward Tolman
Edward Tolman merupakan salah satu tokoh
psikologi yang berorientasi kognitif pada teori belajarnya. Teori belajar
Tolman adalah salah satu teori belajar dalam psikologi belajar yang populer
saat ini. Teori belajar Tolman dikembangkan oleh Edward Chace Tolman dalam
Hergenhahn, B.R dan Matthew, H Olson. Menurut Tolman, belajar adalah proses
yang berjalan secara konstan dan tidak mewajibkan adanya reinforcement. Tolman
mengatakan bahwa terdapat perbedaan antara proses belajar dengan perilaku yang
muncul. Menurut Tolman, variabel yang ada pada pada diri individu yang
berpengaruh dalam belajar adalah: heredity, age, previous training, special endrocine,
and drug or vitamin conditions. (Minanto, 2011)
Tolman berusaha menjelaskan perilaku yang
diarahkan untuk mendapat tujuan sehingga disebut behaviorisme purposif (purposive
behaviorism). Tolman berpendapat bahwa melalui perilaku bertujuan, proses belajar
bukanlah sesuatu situasi yang dapat diamati semuanya, tetapi proses nyata dari
belajar terdiri dari operasi kognitif yang terpusat.
7.
Teori
Attribution dari Weiner
Attribution teori berkaitan dengan
bagaimana individu menginterpretasikan kejadian dan bagaimana hal ini
berhubungan dengan pemikiran mereka dan perilaku. Heider (1958) adalah orang
pertama yang mengusulkan teori psikologis atribusi, tetapi Weiner dan rekan
(misalnya, Jones et al, 1972; Weiner, 1974, 1986) mengembangkan kerangka
teoritis yang telah menjadi paradigma penelitian utama dari psikologi sosial.
Attribution teori mengasumsikan bahwa orang mencoba untuk menentukan mengapa
orang melakukan apa yang mereka lakukan, yaitu, atribut menyebabkan perilaku.
Seseorang yang ingin memahami mengapa orang lain melakukan sesuatu yang mungkin
atribut satu atau lebih menyebabkan perilaku itu. Sebuah proses tiga-tahap
mendasari sebuah atribusi: (1) orang harus melihat atau mengamati perilaku, (2)
maka orang harus percaya bahwa perilaku itu sengaja dilakukan, dan (3) maka
orang harus menentukan apakah mereka percaya yang lain orang dipaksa untuk
melakukan perilaku (dalam hal ini penyebabnya adalah disebabkan keadaan) atau
tidak (dalam hal ini penyebabnya adalah dikaitkan dengan orang lain). (Arjuna, 2011)
Perkembangan awal teori atribusi Weiner
bermula dengan pengenalan empat penyebab pokok yang khas dipilih
individu-individu untuk menjelaskan dicapainya keberhasilan dan dialaminya
kegagalan dan hubungan konseptual antara akibat –akibat, atau hasil-hasil kerja
yang dimilikinya dan tingkah-laku yang terjadi berikutnya. Ada empat penyebab
pokok itu adalah kemampuan, usaha, kesulitan tugas, dan kemujuran, yang menjadi
inti dari teori Wainer. Yang dikenali kemudian
ialah sifat–sifat atau dimensi–dimensi penyebab pokok itu, demikian
dikenali peran reaksi afektif sebagai motivator tingkah-laku (Iskury, 2011).
c.
Teori Belajar Kontruktivis
Sebenarnya pandangan konstruktivis
bukanlah hal baru akan tetapi merupakan penggabungan dari berbagai pendekatan
(Bednar, dkk, dalam Duffy dan Jonassen, 1992 ). Fosnot (1996), mengatakan
konstrukti-visme adalah teori tentang pengetahuan belajar, yang menguraikan
tentang apa itu “ mengetahui ” (knowing)
dan bagaimana seseorang “ menjadi tahu ”
(comes to know). Konstruktivis memandang ilmu pengetahuan bersifat
non-objective, temporer dan selalu berubah. Hal ini sesuai dengan pendapat radical
constructivist yang menyatakan bahwa pengetahuan ini terbentuk dalam
struktur kognisi si pemelajar, bukan berada secara terpisah di luar diri si
pemelajar pengetahuan. Pengetahuan selalu mengalami perubahan sejalan dengan
proses asimilasi dan akomodasi, karena itu guru harus memberikan kesempatan
pada si pemelajar untuk membangun konsep yang akurat tentang pengetahuan
tersebut (Rutnel Hart dan Norman dalam Sulton (1998 ). (Khodijah, 2011)
Menurut Eggen dan Kauchak ( 1997 ), ada
empat ciri teori konstriktivis, yaitu: (1) dalam proses belajar, individu
mengembangkan pehamaman sendiri, bukan menerima pemahaman dari orang lain, (2)
proses belajar sangat tergantung pada pemahaman yang telah dimiliki sebelumnya,
(3) belajar difasilitasi oleh interaksi sosial, dan (4) belajar yang bermakna (
meaningful learning ) timbul dalam tugas-tugas belajar yang otentik.
Dari berbagai pandangan konstruktivis yang
ada, ada dua pandangan yang mendominasi, yaitu individual cognitive
cognitivist dan sociocultural constructivist.
1.
Teori Individual
Cognitive Constructivist
Teori ini dikemukakan oleh Jean Piaget
(1997). Teori ini berfokus pada konstruksi internal individu terhadap
pengetahuan. Pengetahuan tidak berasal dari lingkungan sosial, akan tetapi
interaksi sosial penting sebagai stimulus terjadinya konflik kognitif internal
pada individu ( Eggen dan Kauchak (1997). Cognitive constructivist menekankan
pada aktivitas belajar yang ditentukan oleh pemelajar dan berorientasi penemuan
sendiri. Misalnya, guru matematika yang menggunakan perspektif ini akan
berpandangan bahwa anak akan belajar fakta matematika lebih efektif jika mereka
menemukan fakta tersebut sendiri atas dasar apa yang telah mereka ketahui,
dibandingkan jika fakta tersebut disajikan oleh guru. Dengan demikian, belajar
merupakan proses reorganisasi kognitif secara aktif.
2.
Teori
Sociocultural Constructivist
Teori ini dikemukakan oleh Lev Vygotsky (Bruning
dkk, 1995 ). Teori ini berpandangan bahwa pengetahuan berada dalam konteks
sosial, karenanya ditekankan pentingnya bahasa dalam belajar yang timbul dalam
situasi-situasi sosial yang berorientasi pada aktivis ( Eggen dan Kauchak, 1997).
Bagi Vygotsky, anak-anak mengonstruksi pengetahuan melalui interaksi sosial
(Stetsenko & Arievitch, 2004 dalam Santrock, 2009).
Teori Vygotsky memiliki empat implikasi
pendidikan yang utama (Byrnes, 1996), yaitu:
a. Guru harus bertindak sebagai scaffold yang memberikan bimbingan yang cukup untuk
membantu anak-anak mencapai kemajuan.
b. Pembelajaran harus selalu berupaya “
mempercepat ” level penguasaan terkini anak.
c. Untuk menginternalisasi keterampilan pada
anak-anak, pembelajaran harus berkembang dalam empat fase. Pada fase pertama,
guru harus menjadi model dan memberikan komentar verbal mengenai apa yang
mereka lakukan dan alasanya. Pada fase kedua, siswa harus berupaya mengimitasi
apa yang dilakukan guru. Pada fase ketiga, guru harus mengurangi intervensinya
secara progresif begitu siswa telah menguasai keterampilan tersebut. Keempat,
guru dan siswa secara berulang-ulang mengambil peran secara bergiliran.
d. Anak-anak perlu berulang-ulang dihadapkan
dengan konsep-konsep ilmiah agar konsep spontan mereka menjadi lebih akurat dan
umum.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut teori behavioristik belajar
adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara
stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang
dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang
baru sebagai hasil interaksi stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika
ia dapat menunjukkan perubahantingkah laku.
Sebagai contoh, anak belum dapat berhitung perkalian. Walaupun ia sudah berusaha giat, dan gurunya
sudah mengajarkannya dengan tekun, namun jika anak tersebut belum dapat
mempraktekkan perhitungan perkalian, maka ia belum dianggap belajar. Karena ia belum dapat menunjukan perubahan
perilaku sebagai hasil belajar.
Teori belajar kognitif lebih
mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya. Para penganut aliran kognitif mengatakan
bahwa belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon. Teori
ini berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup
ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi dan aspek-aspek kejiwaan
lainnya. Belajar merupakan aktifitas
yang melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Proses belajar terjadi
antara lain mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan menyesuaikannya
dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki dan terbentuk di dalam pikiran
seseorang berdasarkan pemahaman dan pengalaman-pengalaman sebelumnya. Belajar
merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat
sebagai tingkah laku yang nampak.
Belajar menurut konstruktivis adalah
suatu proses mengasimilasikan dan mengkaitkan pengalaman atau pelajaran yang
dipelajari dengan pengertian yang sudah dimilikinya, sehingga pengetahuannya
dapat dikembangkan. Pengetahuan bukanlah hasil ”pemberian” dari orang lain
seperti guru, akan tetapi hasil dari proses mengkonstruksi yang dilakukan
setiap individu. Pengetahuan hasil dari ”pemberian” tidak akan bermakna. Adapun
pengetahuan yang diperoleh melalui proses mengkonstruksi pengetahuan itu oleh
setiap individu akan memberikan makna mendalam atau lebih dikuasai dan lebih
lama tersimpan atau diingat dalam setiap individu.
DAFTAR PUSTAKA
Arjuna. (2011, 12 03). Attribution
Theory by Weiner. Retrieved 11 10, 2013, from wordpress.com:
http://arjunabelajar.wordpress.com/2011/12/03/attribution-theory-weiner.html
Burning, R., Schraw, G., &
Ronning, R. (1995). Cognitive Psychology and Intruction. New Jersey:
Prentice Hall.
Byrnes, J. (1997). Conitive
Devolpment and Learning in Intructional Contexs. Boston: Allyn and Bacon.
Duffy,
T.M. dan Cunninggham, D.J. 1996. Contructivism: Implication for The Design
and Delivery of Intruction, dalam
Jonnasen, D.j., Handbook of Research For Educational Communacation And
Technology, New York : Simon & Schuuster Macmillan.
Eggen,
p dan Kauchack, D., (1997). Educational Pschology Windows on Classrooms, third
Edition, USA: Prentice Hall Inc.
Fosnot,
Catherine T. (1996). Contructivism: A Psychology Theory Of Learning,
Dalam Catherine T. Fosnot (Ed). Contructivism Theory, Perspectives, And
Practice, New York: Teachers College, Columbia University.
Iskury. (2011, 07). Teori
Belajar Bernard Weiner. Retrieved 11 10, 2013, from blogspot.com:
http://iskury-oon.blogspot.com/2011/07/teori-belajar-bernard-weiner.html
Islamuddin, H. (2012). Psikologi
Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Khodijah, N. (2011). Psikologi
Pendidikan. Palembang: Grafika Telindo Press.
Lestari, D. (2013, 03). Teori-teori
Belajar dan Pembelajaran. Retrieved 11 10, 2013, from blogspot.com:
http://biologi-lestari.blogspot.com/2013/03/teori-teori-belajar-dan-pembelajaran.html
Mahmud. (2012, 07). Macam-macam
Teori Belajar. Retrieved 11 10, 2013, from blogspot.com:
http://mahmud09-kumpulanmakalah.blogspot.com/2012/07/macam-macam-teori-belajar-dan.html
Minanto, A. (2011, 05 12). Teori
Belajar Menurut Edward Tolman. Retrieved 11 10, 2013, from blog.spot.com:
http;//anasminanto.blog.spot.com/2011/05/teori-belajar-menurut-edward-tolman.html
Rumini, S. (1993). Psikologi
Pendidikan. Yogyakarta: UPP UNY.
Santrock, J. W. (2008). Educational
Psycology. New York. Ed. 3. Terj.
Diana Angelica. 2009. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Salemba Humanika.
Saputra, A. W. (2012, 03 14). 10
Teori Belajar Menurut Ahli. Retrieved 11 10, 2013, from wordpress.com:
http://akirawijayasaputra.wordpress.com/2012/03/14/10-teori-belajar-menurut-ahli/
Saro, Q. (2010, 10). Teori
Belajar Kognitif. Retrieved 11 10, 2013, from blog.spot.com:
http://qobasaro.blogspot.com/2010/10/teori-belajar-kognitif.html
Suryabrata, S. (2012). Psikologi
Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press.
Sukadji,
Soetarlinah. (1998). Perkembangan Konsep, Teori Dan Pengukuran Intelegensi,
Pidato Pengukuran Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Psikologi Pada Fakultas
Psikologi UI, 18 November 1998.